Setelah saya menceritakan soal gempa Cianjur yang terjadi beberapa waktu lalu, anak saya yang masih TK B tak henti-hentinya membahas ulang. Terlebih ketika ia melihat sendiri rumah-rumah roboh dan banyaknya korban lewat berita.
Dalam setiap musibah, tentu menghadirkan penderitaan korban yang mengundang rasa simpati dan empati. Termasuk pada gempa Cianjur yang menyebabkan warga kehilangan anggota keluarga hingga non disabilitas yang menjadi disabilitas akibat luka-luka karena tertimpa bangunan roboh di sekitarnya.
Kalau sudah begini, tentu manusia disabilitas bisa bertambah jumlahnya. Sejurus pikiran saya bertanya, bagaimana ya dengan mitigasi bencana pada sodara disabilitas dan OYPMK (Orang yang Pernah Menderita Kusta)? Tentu mereka membutuhkan perhatian tersendiri.
Bencana : Datang Tak Pakai Permisi, Bagaimana Mitigasi Penanggulangan Bencana bagi OYPMK dan Penyandang Disabilitas?
Nah, gaes, kemarin ada bincang live yang diadakan oleh Ruang KBR dan NLR Indonesia yang dipandu oleh Rizal Wijaya. Dalam acara tersebut hadir narasumber Drs. Pangarso Suryotomo selaku Direktur Direktorat Kesiapsiagaan BNPB dan Bejo Riyanto, Ketua Konsorsium Peduli Disabilitas dan Kusta (PELITA) serta disabilitas terdampak bencana.
Bincang live yang digelar pada Selasa, 29 November 2022 kemarin bertema soal Penanggulangan Bencana Inklusif Bagi OYPMK dan Penyandang Disabilitas.
Dalam kondisi gempa atau bencana lain, orang dengan anggota tubuh lengkap saja banyak yang tidak bisa menyelamatkan diri. Apalagi sodara disabilitas kita yang memiliki keterbatasan bergerak.
Hal ini senada dengan pengalaman yang pernah dialami oleh mas Bejo Jozz. Ketua PELITA yang bertempat tinggal di Bantul ini menceritakan pengalamannya saat Gempa Jogja 2006 silam. Guncangan gempa yang sangat kuat saat itu sampai membuat tubuh mas Bejo terlempar.
Bencana memang datang tanpa diduga seperti mas Bejo yang ketika gempa justru mengunci pintu rumah. Padahal di hari-hari sebelumnya, mas Bejo dengan sengaja tak pernah menguncinya.
Bayangan akan Tsunami Aceh 2004 terus menghantui. Terlebih Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak gunung berapi dan dikelilingi lautan sehingga menjadikan wilayahnya rawan terhadap bencana.
Kedatangan bencana yang tidak pakai permisi mengharuskan setiap pihak memahami apa saja yang perlu dilakukan ketika berhadapan dengan gempa atau bencana alam lainnya.
Tujuannya agar kerugian yang harus dirasakan bisa diminimalisir. Berkaca dari pengalaman tersebut, disabilitas terdampak bencana ini terketuk hatinya untuk merumuskan SOP mengenai mitigasi bencana bagi OYPMK dan penyandang disabilitas bekerja sama dengan lembaga non formal dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Menurut mas Bejo, para disabilitas ingin diperlakukan setara dengan non disabilitas lainnya ketika terjadi bencana. Bahkan mereka ingin berpartisipasi dalam penanganan saat bencana terjadi.
Senada dengan hal tersebut, pak Papang yang merupakan sapaan akrab Drs. Pangarso Suryotomo, menyatakan sesuai dengan Perka BNPB 14 tahun 2014 bahwa disabilitas sebenarnya memiliki 3P dalam Penanggulangan Bencana (PB) yaitu Pertolongan, Partisipasi dan Perlindungan.
Pertolongan artinya setiap orang termasuk disabilitas berhak memperoleh pertolongan. Namun, dalam hal ini, setiap orang disabilitas sebenarnya tidak ingin dijadikan objek. Mereka tetap ingin diperlakukan sebagai subjek yang juga memiliki peran dalam penanganan bencana.
Misalkan saja melakukan pendekatan secara emosi kepada korban terdampak yang harus kehilangan anggota tubuhnya. Siapa lagi yang bisa mendekati disabilitas kalau bukan mereka penyandang disabilitas?
Disabilitas pun bukan hanya perkara seseorang yang tidak memiliki anggota tubuh yang utuh. Orang dengan bagian tubuh lengkap dan berfungsi juga bisa menjadi disabilitas ketika dirinya berkumpul dengan para disabilitas.
Misal nih ya, orang non disabilitas yang duduk bersama dengan tiga tuna wicara. Tentu komunikasi hanya bisa terjalin pada mereka para disabilitas yang paham bahasa isyarat bukan? Meski berfungsi normal, tanpa kemampuan bahasa isyarat malah menjadikannya seorang disabilitas.
Dan jangan salah, setiap manusia dengan badan lengkap adalah calon disabilitas karena tidak akan ada disabilitas yang menjadi non disabilitas kalau bukan sebaliknya.
Prinsip dilibatkan dalam penanganan bencana di atas, senada dengan 3P ke-2 yaitu Partisipasi dan 3P berikutnya yaitu Perlindungan.
Membicarakan disabilitas tentu tak lepas dari para OYPMK atau Orang yang Pernah Menderita Kusta. Beberapa OYPMK bahkan ada yang harus kehilangan anggota tubuhnya.
Selain itu, di tengah masyarakat, kusta masih memiliki stigma negatif sebagai penyakit gampang menular yang harus dihindari.
Padahal kusta tidak semudah itu menular, terlebih jika penderitanya sudah minum obat secara teratur.
Akhirnya, mitigasi bencana tidak bisa dikerjakan seorang diri, harus ada keterlibatan dengan pihak lain di luar BNPB. Saran pak Papang, masyarakat bisa mengunduh aplikasi INARISK sebagai bagian dari mitigasi.
Di sana sudah terdapat panduan apa yang harus dilakukan sebagai pertolongan saat terjadi bencana. Selain itu, aplikasi juga bisa mendeteksi dimana pengguna berada dan risiko bencana apa yang mengintai.
Nah, setelah menonton acara talkshow tersebut, kini saya menjadi tahu bagaimana mitigasi bencana pada OYPMK dan para penyandang disabilitas bisa dilakukan.